(Bagian satu dari dua tulisan)
Pendekatan dan fokus utama tulisan ini berbicara mengenai persoalan prinsip dasar pemeliharaan lingkungan hidup dan
totalitas pelestariannya yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, khususnya
umat Islam dengan berbagai alasan diantaranya; pertama memelihara lingkungan
hidup itu dipandang sebagai bagian dari ibadah karena itu harus dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Kitab Suci. Dalam melestarikan lingkungan
hidup harus diniatkan lillahi taala. Kedua, menjaga lingkungan sekitar yang
dibarengi kebersihan hati, kecerdasan nalar dan kesantunan dalam tata pergaulan
berpengaruh terhadap perilaku berbisnis, berikhtiar, termasuk ibadah pula, karena
dinamika hidup itu berkenaan dengan prinsip Islam dalam pengelolaan lingkungan
masyarakat dan alam sekitar sebagai sarana ibadah.
Demokrasi
terhadap tata lingkungan hidup seutuhnya, sebagai alat bukan tujuan, untuk
mencapai kemakmuran dan kemajuan bangsa harus dikembangkan dan dilaksanakan
agar terlembagakan (institutionalized) dan menjadi suatu sistem yang
efektif (effective system) secara mantap dalam seluruh proses, struktur,
dan nilai berbangsa dan bernegara.
Ke depan, Indonesia dihadapkan pada tantangan
pengelolaan lingkungan hidup untuk menjadi negara yang berperan strategis
sekaligus dihormati di Asia bahkan dunia. Indonesia harus bersaing dengan
negara-negara Asia seperti China, Jepang, Korea Selatan, India, dan bahkan Malaysia.
Dalam konteks ini Indonesia harus mampu memainkan peranan strategis yang baru
di dalam era internasional yang baru juga yang bersifat global dan mondial.
Indonesia harus dapat memanfaatkan serta memberdayakan keunggulan, nilai
geografis yang strategis, kekayaan alam juga potensi sumber daya manusia yang
besar untuk bisa dijadikan modal kerjasama dengan luar negeri yang
menguntungkan dan melayani kepentingan nasional.
Salah satu persyaratan untuk mencapai hal-hal di
atas adalah bahwa Indonesia harus juga kuat dan maju serta terpandang dari sisi
ekonomi, lingkungan hidup karena seluruh proses, dinamika, dan upaya kerjasama
dan negosiasi internasional membutuhkan pembiayaan dan pendanaan yang juga
sangat besar dan substansial.
Fenomena alam yang terjadi saat ini, seperti curah
hujan dan banjir Jakarta, sejak awal Januari
2013 layaknya
merupakan banjir terbesar
sepanjang ingatan dan rekaman BMKG. Meski
curah hujan pada awal 2013 jauh lebih sedikit dibanding banjir besar Jakarta
2007, banjir yang terjadi belakangan ini jauh lebih masif dengan cakupan wilayah terkena
bencana dan
korban harta benda serta jiwa yang juga kian banyak.
Dengan kecenderungan seperti itu hampir
bisa dipastikan, banjir kian besar mengancam dari waktu ke waktu. Faktor
meningkatnya gejala tidak
menggembirakan ini juga banyak terkait perubahan ikim (climate change) secara global. Pada tingkat nasional, sumber bencana itu, antara lain,
kebijakan dan program pemerintah belum
mencapai hasil maksimal menangani
banjir, tambahan lagi pembangunan
gedung dan perumahan yang kian
menghabisi ruang hijau dan lahan penyerapan air.
Tidak kurang pentingnya, banyak pula terkait dengan gaya hidup kalangan masyarakat umum yang tidak memiliki kepedulian pada lingkungan hidup dan ekologi yang sehat. Tetapi jelas, perubahan iklim pada dasawarsa terakhir kian terlihat dalam berbagai bentuk
di hampir seluruh bagian dunia. Di Indonesia, gejala perubahan iklim, selain banjir yang kian mewabah terdapat pula musim kemarau
yang kian kering dan lebih panjang.
Banjir dan kemarau panjang menimbulkan banyak korban sosial-ekonomi, harta benda, dan jiwa. Sementara itu, di bagian dunia lain, seperti Australia, suhu panas sekarang mencapai lebih 45
derajat Celsius sehingga menimbulkan
kebakaran liar (wildfires) di mana-mana.
Pada saat yang sama kawasan utara
Bumi mengalami musim salju kian tebal lebih daripada biasanya.
Tetapi, dalam tahun-tahun terakhir di banyak
negara Eropa Utara dan Amerika Utara tidak
ada salju pada akhir Desember dan Januari. Di
musim dingin kadang-kadang temperatur malah hangat, lazim
disebut Indian summer. Jadi,
perubahan iklim bukan lagi sekadar teori
dan wacana. Tetapi, sudah hadir di hampir setiap lingkungan kehidupan, termasuk Indonesia.
Lalu bagaimana langkah merespon fenomena tersebut? sudah banyak saran dan anjuran dari berbagai
lembaga dan pakar yang bergerak
dalam penyelamatan lingkungan hidup,
perubahan iklim, dan pemanasan (dan juga
pendinginan) global. Dalam konteks Indonesia yang notabene mayoritas
penduduknya beragama Islam, seyogyanya kaum muslimin memainkan
peran lebih aktif mengantisipasi dan merespons perubahan iklim dengan berbagai bentuk dampaknya.
Secara normatif, Islam sangat menekankan penyelamatan lingkungan dan ekologi. Misalnya, di dalam al-Qur’an terdapat sekitar 1.500 ayat tentang alam, bumi, dan lingkungan hidup lainnya. Juga, terdapat banyak hadits
mengenai subjek ini. Kerangka doktrinal normatif
Islam tersebut tentu saja merupakan panduan
penting bagi kaum muslimin untuk
ikut dalam merespons perubahan iklim,
pemanasan, dan
pendinginan global.
Namun sayang, tidak banyak kaum muslimin yang
menyadari -apalagi memahami dan melaksanakan
ajaran normatif Islam- dalam tataran kehidupan sehari-hari. Hasilnya adalah ekologi dan lingkungan hidup kaum muslimin paling rusak dibandingkan dengan
wilayah atau negara yang mayoritas
penduduknya non-muslim. Kerusakan
lingkungan hidup di dunia
muslim,
terutama terkait kemiskinan, terjadi
banyak negara berpenduduk mayoritas
Islam di Asia Selatan dan Afrika.
Akibatnya, mayoritas masyarakat tersebut hidup
dalam ekologi yang sangat rusak dan tidak sehat.
Selain itu, karena kebijakan pembangunan
yang pada prakteknya hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan sumber daya lingkungan, seperti yang terjadi Indonesia.
Memang ada upaya penyelamatan ekologi, tetapi pembalakan liar dan penambangan batu bara serta
tambang lainnya yang sangat merusak terus bertanjut. Sekali
lagi, sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, seyogyanya para ulama, pemimpin umat, ormas, dan lembaga Islam lainnya lebih berperan aktif merespons masalah perubahan iklim yang dapat menjadi katastropi
bagi alam dan makhluk Allah.
Hutan Adalah Jantung Dunia
Melakukan penghijauan kembali hutan
yang rusak serta konservasi keanekaragaman hayati dan hutan lindung kini
semakin urgen dan mendasar. Sektor kehutanan merupakan
salah satu sektor ekonomi yang sangat penting dan strategis dalam pembangunan
ekonomi pada masa sebelum krisis ekonomi tahun 1997-1998. Sejak tahun 1970-an
pengusahaan dan pemanfaatan hutan untuk menghasilkan produk kehutanan dilakukan
dengan sangat intensif. Pengusahaan dan pemanfaatan hutan yang sangat intensif
tersebut kurang didukung dengan usaha penghijauan kembali atau reboisasi yang
efektif, walau secara hukum dan peraturan telah diatur dan dipaksakan.
Tetapi lemahnya penegakan
hukum dan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme membuat kegiatan penghijauan
kembali atau reboisasi tersebut berjalan lambat sekali. Kegiatan reboisasi yang
berjalan pun hanya terbatas sekali dan kurang signifikan dalam mengembalikan
kondisi hutan yang telah ditebang.
Akibatnya pasca krisis
ekonomi dan belakangan ini, luas hutan yang rusak menjadi sangat tinggi dan
tersebar di seluruh pulau di Indonesia. Menurut beberapa perkiraan bahkan
sampai mencapai 59 juta hektar. Baik itu rusak karena bekas lahan HPH (Hak Pengusahaan Hutan)
yang tidak direboisasi, rusak karena penebangan ilegal dan liar, rusak karena
perambahan hutan, dan rusak karena fenomena alam seperti longsor, banjir,
kebakaran, dan lainnya. Dan penghijauan kembali hutan yang rusak ini berjalan
lambat sekali dan kurang produktif serta terkesan lebih dominan mengedepankan
aspek seremonial saja. Pengurangan luas hutan yang rusak dalam kurun waktu
lebih dari sepuluh tahun belakangan ini relatif rendah dan tren ke depannya
juga tidak menunjukkan prospek yang menjanjikan.
Hutan yang rusak dan
terlantar tersebut merupakan modal dasar, potensi dan peluang bagi pembangunan
perekonomian nasional ke depan terutama dengan kuatnya kesadaran dan tekanan
baik global maupun regional untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan
meningkatkan upaya pencegahan perubahan iklim global. Penghijauan kembali hutan
yang rusak tidak lagi menjadi agenda nasional saja tetapi dapat dikelola dan
dipromosikan untuk menjadi agenda internasional bahkan global. Penghijauan
kembali hutan yang rusak ini memiliki nilai dan posisi yang jauh lebih
strategis daripada moratorium atau penghentian penebangan hutan, bila dapat
dikelola dan dikemas dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional dan
pembangunan lingkungan hidup global.
Beberapa
masalah mendasar dan utama dalam upaya penghijauan kembali hutan antara lain
kejelasan dan kepastian hukum untuk penguasaan (atau kepemilikan atau hak guna)
dari hutan yang rusak ini, antara pemegang hak yang lama yang telah
menelantarkan lahan HPH nya kepada pemerintah lalu dari pemerintah kepada
pemegang hak yang baru. Pemegang hak yang baru bisa pemerintah diwakili
oleh BUMN atau pihak swasta yang ditunjuk oleh pemerintah baik dalam kerja sama
kemitraan atau kontrak.
Upaya
dan kegiatan penghijauan kembali hutan yang rusak memerlukan biaya yang sangat
besar, memiliki resiko ketidakpastian yang tinggi, dan memerlukan waktu yang
relatif lebih lama. Sehingga setiap kegiatan investasi dalam kegiatan penghijauan
kembali hutan yang rusak memerlukan kepastian dan kepastian baik hukum, model
bisnis, dan perjanjian yang kondusif untuk jangka panjang.
Masalah
lainnya adalah bagaimana memadukan dan mengintegrasikan penghijauan kembali
hutan yang rusak antara kepentingan untuk mendapatkan keuntungan dan
pengembalian investasi dengan kepentingan lingkungan hidup. Kegiatan
penghijauan kembali ini secara bisnis harus menguntungkan sekaligus berfungsi
efektif dalam mcngembalikan kualitas habitat lahan hutan. Lalu bagaimana
memperoleh pendanaan yang tepat baik untuk jangka pendek maupun jangka menengah?
Berdasarkan
kondisi dan tantangan diatas maka upaya penghijauan kembali hutan yang rusak ke
depan akan dikembangkan dengan pendekatan peran dominan dan BUMN sebagai ujung
tombak dan mengusahakan tanaman yang memiliki prospek jangka panjang yang
menguntungkan sekaligus mampu memberikan multiplier ekonomi dan lingkungan
hidup yang tinggi. Beberapa alternatif upaya penghijauan kembali hutan rusak
ini antara lain pengembangan perkebunan aren untuk menghasilkan bioetanol,
pengembangan transmigrasi berbasis aren untuk menghasilkan bioetanol,
pengembangan bambu terintegrasi dengan tanaman perkebunan, dan lainnya.
Pohon
aren memiliki keunggulan dalam fungsi konservasi dan penahan air sehingga mampu
menghindari banjir dan longsor di lahan hutan yang berkemiringan tinggi. Pohon
aren juga memiliki daya serap CO2 yang relatif tinggi sekaligus
penghasil O2 untuk mengurangi efek rumah kaca dan mengurangi
pemanasan global. Budidaya pohon aren juga relatif mudah dan sudah lama
diusahakan oleh petani di berbagai tempat. Dan buahnya dapat diolah menjadi
bioetanol untuk dijadikan bahan bakar nabati yang bernilai tinggi. Perkiraan
keuntungan dan biaya dalam mengembangkan pohon aren sebagai penghasil bioetanol
telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya.
Mengamankan dan merehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) tidak hanya basa-basi lagi,
tetapi tuntutan kebutuhan saat ini sangat mendesak. Kondisi
daerah aliran sungai (DAS) di sebagian besar sungai di Indonesia dalam kondisi
yang mengenaskan dan tidak mendapat perhatian yang memadai. Daerah aliran
sungai sebagian besar tandus tanpa tanaman atau pohon penahan. Sementara itu
pemukiman telah merambah sampai ke pinggir sungai. Kondisi ini
membuat aliran air sungai mengalami fluktuasi dan perbedaan yang besar sekali
antara musim hujan dan musim kering. Bila pada musim hujan akan deras sekali
bahkan membawa kebanjiran di hilir tetapi pada musim kering justru akan kering
kerontang. Beberapa kejadian banjir besar di kota-kota besar yang menjadi hilir sungai besar adalah
dampak dari daerah aliran sungai yang rusak dan tidak terpelihara.
Luas
daerah aliran sungai pada dasamya sangat lugas dan berpotensi menjadi areal
pertanaman pohon atau tanaman produktif. Lahan daerah aliran sungai memiliki
karakteristik yang spesifik dengan lebar yang terbatas (sejauh pinggiran
sungai) tetapi memiliki panjang yang sangat jauh sejauh aliran sungai dari hulu
ke hilir. Karakteristik yang spesifik ini harus dikelola dengan mengembangkan
tanaman atau pohon yang berfungsi ekologis dan lingkungan hidup yang bemilai
sekaligus secara ekonomis dapat memberikan pendapatan kepada masyarakat di
sekitar daerah aliran sungai. Tanpa kombinasi tersebut, upaya rehabilitasi DAS
akan lambat dan mengalami hambatan dari masyarakat karena konflik atau
pertentangan penggunaan lahan DAS dengan komoditas atau tanaman lain yang lebih
cepat menguntungkan.
Pengamanan
sekaligus rehabilitasi DAS dapat dikembangkan melalui budidaya pohon aren melalui
kelompok atau organisasi masyarakat setempat dengan model kemitraan atau
inti-plasma dengan BUMN atau pihak swasta, baik untuk menghasilkan gula aren
dan produk turunannya atau untuk menghasilkan bioetanol untuk bahan bakar
nabati. Aspek kepastian dan dasar hukum kepemilikan lahan daerah aliran sungai
akan diupayakan jelas, terlindungi dan disepakati secara bersama untuk
dijadikan dasar kemitraan atau kerja sama pengembangan pohon aren ini.
Disamping pohon aren, rehabilitasi DAS juga akan diikuti dengan penanaman pohon
lain yang bernilai tinggi baik untuk konservasi dan ekonomi.
Mencegah dan menindak tegas pelaku pencemaran lingkungan sangat
lemah dalam realitasnya. Pencemaran lingkungan saat ini menjadi isu dan masalah
serius dalam kehidupan sehari-hari. Pencemaran lingkungan semakin has dan
semakin masif berlangsung di berbagai lokasi, di berbagai kegiatan usaha, dan
di berbagai industri atau kegiatan ekonomi lainnya. Pencemaran lingkungan juga
termasuk pengrusakan lingkungan.
Pencemaran
lingkungan akibat limbah industri yang tidak terkendali, yang melanggar hukum,
dan yang tidak sesuai dengan standar masih sering dijumpai. Pencemaran ini baik
untuk pencemaran air di sungai dan laut maupun pencemaran asap dan bau serta
kontaminasi berbahaya lainnya. Pencemaran lingkungan akibat asap kendaraan
bermotor dan pembakaran lahan juga menjadi permasalahan serius terutama di
kota-kota metropolitan dan di lahan perkebunan dan kehutanan di musim kemarau
parah.
Berbagai
lembaga telah dibentuk dan berbagai aturan hukum telah diundangkan dan dibuat
untuk mencegah dan menindak para pelaku pencemaran lingkungan. Tetapi saat ini
upaya penegakan hukum dalam rangka pencegahan dan penindakan pencemaran
lingkungan masih sangat lemah, ditambah lagi dengan rongrongan praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme yang melanda para penegak hukum terkait pencemaran
lingkungan ini.
Untuk
meningkatkan efektifitas upaya pencegahan dan penindakan hukum terhadap para
pelaku pencemaran lingkungan hidup maka kerangka dan payung hukum yang diperlukan
akan diperkuat dan dipertegas kembali agar lebih fungsional dan mudah
diterapkan dalam praktek di lapangan. Lalu aparat penegak hukum terkait juga
akan ditingkatkan kesejahteraannya dan sistem insentif yang lebih memadai serta
didukung oleh saran prasarana pencegahan dan penindakan yang mumpuni.
Untuk
memberikan efek jera maka para pelaku pencemaran lingkungan hidup akan
disiarkan secara terbuka melalui media massa baik cetak maupun elektronik baik
level nasional maupun lokal. Hukuman yang dikenakan juga akan diperkuat serta
aparat penuntut hukum juga akan diberdayakan lebih baik lagi.
Melindungi
Flora dan Fauna sebagai bagian dari aset bangsa memerlukan sosialisasi
peraturan perundangan-undangan dan kesadaran masyarakat. Indonesia
merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi dan terbaik
di dunia, terutama untuk daerah tropis. Kekayaan dan keunggulan keanekaragaman
hayati ini harus dijaga, dikembangkan dan dikelola serta dimanfaatkan sebagai
modal dan aset bangsa untuk pembangunan nasional demi kemakmuran rakyat
Indonesia. Kekayaan keanekaragaman hayati ini bernilai sangat tinggi dan dapat
bertahan terus-menerus apabila dikelola dengan berkesinambungan.
Salah
satu kekayaan keanekaragaman hayati nasional Indonesia adalah jumlah dan keragaman
flora dan fauna yang tumbuh dan berkembang biak di wilayah Indonesia, terutama
di hutan-hutan tropis kita. Juga di perairan samudera dan laut serta sungai
atau danau kita. Jumlah dan keragaman flora dan fauna Indonesia yang tak
temilai ini harus
dilindungi. Perlindungan yang utama adalah dari pencurian dan pengambilalihan
hak kekayaan alam disamping dilindungi dari kerusakan, kehancuran, dan
kemusnahan.
Flora
dan fauna nasional yang jumlah sangat banyak dan beragam tersebut perlu
diidentifikasi, disusun, dan dipetakan dengan tepat dan menyeluruh agar kita
mengetahui dengan pasti karakteristik dan sifatnya. Lalu dipelajari dan dikaji
nilai dan kegunaan serta kemanfaatannya agar dapat dimanfaatkan untuk keperluan
dan kegiatan yang bernilai. Dan yang tak kalah pentingnya adalah mendaftarkan
dan mematenkan serta mempublikasikan seluruh kekayaan keragaman flora
dan fauna ini secara global sehingga terjamin nilai keunikan dan penguasaannya
oleh Indonesia.
Baru
perlindungan flora dan fauna dilanjutkan dengan upaya dan kegiatan pencegahan
dari pencurian dan pengrusakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab
dan atau pihak yang ingin mengeruk keuntungan tanpa mengikuti aturan dan
peraturan yang berlaku. Sistem perlindungan flora dan fauna nasional ini akan
disinkronkan antara berbagai kementerian dan lembaga non kementerian serta
lembaga lain yang terkait, seperti Badan Karantina Kementerian Pertanian,
Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Riset dan Teknologi, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian
Keuangan, POLRI, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan lainnya.
Sistem
perlindungan dan pencegahan pencurian flora dan fauna nasional perlu
ditingkatkan kapasitas, kapabilitas, dan infrastruktur pendukungnya seperti di
bandara oleh Bea dan Cukai serta Badan Karantina Pertanian, di laut oleh
Kementerian Kelautan
dan Perikanan dan POLRI, dan di hutan oleh Satuan Polisi Hutan. Kapasitas
kelembagaan dari seluruh aparat dan lembaga ini perlu ditingkatkan terns dan
diberdayakan serta disinergikan lebih efektif.
Peran Agama dalam Perubahan Iklim
Suara masyarakat yang paling urgen ini jarang terdengar dan
sayup-sayup sampai. Hal ini
sejalan dengan kesepakatan para pemimpin Kristianitas, Islam, Hinduisme,
Buddhisme, dan Sikhisme dalam Deklarasi
Antar agama tentang Perubahan Iklim di
Kopenhagen pada 2009.
Mereka sepakat untuk meningkatkan peran agama
dalam penyelamatan ekologi. Selain itu, semakin
banyak pula pemimpin dan pemuka agama
yang mengembangkan green religion dan eco-theology
dalam
konteks agama masing-masing. Ulama dan pemikir Islam dapat pula mengembangkan tidak hanya green religion
dan eco-theology, tetapi juga eco-fiqh. Ijtihad dalam ketiga bidang ini niscaya dapat
menjadi pedoman dan bimbingan tidak hanya bagi penyelamatan ekologi,
tapi juga bagi masa depan Indonesia.
Agama memiliki peranan, khusus terhadap pendidikan lingkungan karena semua agama menekankan
adanya penghormatan terhadap
hidup, adanya sikap mensyukuri hak-hak yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia,
adanya semangat untuk
mempedulikan dan mengasihi mereka yang lemah serta adanya rasa berkorban dan
menahan diri.
Agama sebagai
organisasi dan sistem berpikir berada dalam posisi yang lebih menguntungkan untuk mempromosikan
pendidikan lingkungan kepada para penganutnya. Karena mereka secara
bersama menganut kepercayaan dan nilai yang sama dan juga sebagian dari agama-agama tersebut memiliki
jaringan kerja (net-work)
informasi yang sangat
efektif. Artinya, ajaran Islam dapat dikontekstualisasikan dalam memberi gagasan gagasan iman yang universal bagi penyelesaian masalah lingkungan di Indonesia
Kini, salah satu tugas utama agama-agama
dalam hubungan dengan permasalahan lingkungan adalah bagaimana merumuskan suatu gagasan tentang etika
lingkungan yang bersifat
global yang sekaligus menjadi etika lingkungan dan etika global, juga akan menjadi sebuah etika global
tentang lingkungan.
Sebuah etika global,
bukanlah dimaksudkan untuk menciptakan sebuah agama dan ideologi global yang satu. Etika global ini bukan pula sebuah campuran antara berbagai ajaran agama dan tidaklah juga bermaksud untuk menghapuskan
norma dan nilai-nilai
tradisi yang dikembangkan oleh berbagai agama.
Etika global lebih
merupakan sebuah kesepakatan bersama atau konsensus yang dicapai oleh berbagai
agama untuk dihormati dan
dilaksanakan setiap orang yang mempunyai keprihatinan dan kepedulian terhadap
masalah perdamaian dan keadilan di
dunia ini, walaupun mereka mempunyai perbedaan dalam ajaran dan tradisi
agama. Etika global ini juga dapat berupa beberapa
hal mendasar yang menyangkut tingkah laku etika yang sama-sama diakui oleh semua agama. Dan sebab itu
harus diberlakukan melalui dialog dan
kerjasama antara satu dengan yang lain.
Seluruh dunia
membutuhkan etika tersebut. Tanpa itu kita tidak akan mungkin mencapai
perdamaian. Dengan demikian maka etika
lingkungan yang akan dirumuskan melalui kerja sama agama-agama haruslah menjadi sebuah etika global tentang lingkungan.
Pada prinsipnya, mengelola dan melestarikan hutan dan lingkungan yakni dengan
memanfaatkannya secara optimal, dalam lingkup syariat Islam tergolong kategori muamalah yang di dalamnya termasuk dua
bentuk kegiatan utama yaitu aspek kepemilikan dan azas manfaat. Dalam
implementasinya azas manfaat harus memperoleh prioritas utama karena pada
dasarnya segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit hakekat pemiliknya
hanyalah Allah,
sedangkan manusia diciptakan Allah
sebagai kholifah yang kinerjanya difokuskan dalam konteks sarwa ibadah sebagai sarana untuk
taqoruban Ilalloh
(mendekatkan diri
kepada Allah).
Sebagai bagian dari alam
semesta, hutan dengan segala isi kandungannya adalah limpahan karunia Allah yang tak ternilai harganya,
diperuntukkan bagi manusia dengan maksud untuk menyempurnakan nikmat yang dititipkan
Allah
pada manusia, agar mereka pandai bersyukur kepada-Nya, misalnya dengan cara
mengelola alam ini sesuai dengan aturan yang dikehendaki Allah pula.
Sepanjang sejarah peradaban
manusia, hanya agama Islamlah yang secara transparan memandu setiap individu
agar menyadari kehadirannya di muka
bumi ini sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dan alam semesta, bahkan secara
tegas Allah memberitahukan, bahwa
manusia itu diciptakan-Nya dari tanah, dan akhimya akan dikembalikan pula ke tanah.
Mengingat di atas tanah manusia itu hidup, maka semua fasilitas yang ada,
semuanya ditaklukkan Allah kepada manusia, supaya manusia dapat
mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Dengan
demikian, bagi manusia tanah itu merupakan
sumbernya
sarana untuk memperoleh rezeki dalam menyambung hidupnya. Dalam konteks yang
gampang dicerna
seperti inilah, memakmurkan alam menjadi sangat relevan diprioritaskan manusia
untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya demi kesejahteraan bersama.
Jika akhir-akhir ini, temyata kehadiran manusia di tengah-tengah alam semesta
ini sebagai pelaku utama terjadinya berbagai kerusakan, maka di samping derajat kemanusiaannya jauh tersungkur di bawah
predikat binatang, juga ia
telah dengan sengaja mengingkari perannya di muka bumi sebagai kholifah
Allah.
Dalam
garis besarnya, panduan Islam dimaksud termaktub dalam berbagai literatur syar’i. Misalnya : Pertama,
Al-Qur'an dan sunnah dengan indahnya memberikan khabar gembira (tabsyiron) dengan menjanjikan sorga jannatun nai'im bagi hamba-Nya yang
dengan tulus
keikhlasan bergerak di muka
bumi ini dengan amal-amal yang saleh, sementara itu Alloh dan Rasul-Nya
memberikan peringatan keras (tandziron)
dengan ancaman neraka, bagi hamba-Nya yang gemar berkeliaran di bumi Alloh
dengan bertaburan berbuat kerusakan.
Kedua,
Dalam hubungannya dengan alam, manusia adalah kholifah Alloh di muka bumi,
dengan tugas utamanya adalah
memakmurkan alam
semesta untuk kemanfaatan bersama, sedangkan dari segi kepemilikannya dijelaskan
bahwa segala sesuatu yang ada di langit
dan di bumi hanyalah kepunyaan Alloh semata. Ketiga, Islam mengizinkan
kepemilikan tanah, baik
untuk keperluan umum maupun khusus, pemiliknya bisa perorangan maupun orang
banyak. Mengenai kepemilikan, manusia hanyalah kholifah Alloh di muka bumi, yang harus tunduk pada aturan yang telah
digariskan Allah,
baik dalam bentuk larangan, maupun
perintahnya. Keempat, Islam tidak menafikan naluri dan fitrah dari seseorang
maupun kelompok untuk memiliki. Hanya saja, Islam memberikan batasan yang jelas
bagi pemiliknya dalam menggunakan hak miliknya. Ketegasan ajaran Islam
dimaksud, penekanannya dari aspek azas manfa'at. (tulisan sudah pernah diterbitkan di majalah samudera)