Terpilihnya
Joko Widodo sebagai presiden RI tak terlepas dari dukungan signifikan pemilih,
terutama rakyat kecil. Hasil exit poll beberapa lembaga survei pada pilpres
lalu setidaknya membuktikan itu. Lembaga survei Indikator pada Pilpres 2014
mencatat, mayoritas pemilih yang berpendapatan di bawah Rp 1 juta per bulan
sebanyak 47 persen memilih Jokowi-Jusuf Kalla, 37 persen memilih Prabowo-Hatta,
dan sisanya tidak menjawab.
Dilihat dari sisi penokohan pada saat kampanye Pilpres 2014, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla lebih mengesankan sebagai pihak yang mewakili rakyat kecil (wong cilik). Terlihat dari salah satu iklan kampanye Jokowi-JK yang memuat adegan mereka makan bareng rakyat kecil di atas tikar secara lesehan. Tidak heran jika Pilpres 2014 dikatakan sebagai pertarungan antara masyarakat priayi (bangsawan) versus masyarakat wong cilik.
Selain kuatnya dukungan wong cilik, kemunculan Jokowi sebagai kandidat capres juga tidak terlepas dari usaha rakyat di luar partai yang telah mendorongnya mendapatkan restu dari PDIP sebagai pengusung. Kentalnya keberadaan kekuatan rakyat "ekstrapartai" itu sangat terasa ketika sejumlah relawan mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi sebagai capres 2014.
Setidaknya dukungan dari kalangan rakyat "ekstrapartai" itu membuat Jokowi menemukan "kaki politik"-nya di luar partai-partai politik. "Kaki politik" Jokowi ini kian berpijak pada landasan yang mapan ketika lembaga-lembaga survei mengumumkan hasil jajak pendapat yang menempatkan Jokowi sebagai tokoh dengan elektabilitas tertinggi sebagai presiden mengungguli seluruh elite yang telah lama dikenal publik, seperti Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, dan Aburizal Bakrie. Dalam arti lain, secara tak disadari gerakan "ekstrapartai" yang menciptakan "kaki politik" Jokowi ini menedapatkan pengukuhan empiris melalui hasil-hasil survei yang diumumkan ke hadapan publik. Dan, pada akhirnya Jokowi yang berpasangan dengan JK memenangi perebutan kursi presiden.
Dari fenomena itu, bisa dikatakan kemenangan Jokowi ini sebagai kemenangan rakyat kecil yang sebagian besar mendukungnya. Kemenangan Jokowi juga perlu dianggap sebagai kemenangan rakyat di luar partai yang mampu mengungguli dominasi para elite partai politik dengan "memperalat" Jokowi untuk tampil sebagai (calon) presiden. Sebuah terobosan yang hampir tak diperhitungkan sama sekali dalam sejarah politik Indonesia modern. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan corak paling mencolok pemerintahan Jokowi-JK adalah popular-based government (pemerintah didasarkan dukungan rakyat).
Dilema Pahit
Sayangnya, kuatnya kesan pemerintahan Jokowi-JK sebagai representasi pemerintahan
berdasarkan dukungan rakyat, akhirnya harus dihadapkan pada realitas dilematis,
ketika pemerintahan baru ini berencana mengeluarkan kebijakan yang akan
memberatkan konstituen terbanyaknya sendiri, melalui kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM) di awal-awal pemerintahannya.Dilihat dari sisi penokohan pada saat kampanye Pilpres 2014, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla lebih mengesankan sebagai pihak yang mewakili rakyat kecil (wong cilik). Terlihat dari salah satu iklan kampanye Jokowi-JK yang memuat adegan mereka makan bareng rakyat kecil di atas tikar secara lesehan. Tidak heran jika Pilpres 2014 dikatakan sebagai pertarungan antara masyarakat priayi (bangsawan) versus masyarakat wong cilik.
Selain kuatnya dukungan wong cilik, kemunculan Jokowi sebagai kandidat capres juga tidak terlepas dari usaha rakyat di luar partai yang telah mendorongnya mendapatkan restu dari PDIP sebagai pengusung. Kentalnya keberadaan kekuatan rakyat "ekstrapartai" itu sangat terasa ketika sejumlah relawan mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi sebagai capres 2014.
Setidaknya dukungan dari kalangan rakyat "ekstrapartai" itu membuat Jokowi menemukan "kaki politik"-nya di luar partai-partai politik. "Kaki politik" Jokowi ini kian berpijak pada landasan yang mapan ketika lembaga-lembaga survei mengumumkan hasil jajak pendapat yang menempatkan Jokowi sebagai tokoh dengan elektabilitas tertinggi sebagai presiden mengungguli seluruh elite yang telah lama dikenal publik, seperti Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, dan Aburizal Bakrie. Dalam arti lain, secara tak disadari gerakan "ekstrapartai" yang menciptakan "kaki politik" Jokowi ini menedapatkan pengukuhan empiris melalui hasil-hasil survei yang diumumkan ke hadapan publik. Dan, pada akhirnya Jokowi yang berpasangan dengan JK memenangi perebutan kursi presiden.
Dari fenomena itu, bisa dikatakan kemenangan Jokowi ini sebagai kemenangan rakyat kecil yang sebagian besar mendukungnya. Kemenangan Jokowi juga perlu dianggap sebagai kemenangan rakyat di luar partai yang mampu mengungguli dominasi para elite partai politik dengan "memperalat" Jokowi untuk tampil sebagai (calon) presiden. Sebuah terobosan yang hampir tak diperhitungkan sama sekali dalam sejarah politik Indonesia modern. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan corak paling mencolok pemerintahan Jokowi-JK adalah popular-based government (pemerintah didasarkan dukungan rakyat).
Dilema Pahit
Kepastian pemerintah menaikkan harga BBM itu bisa dilihat dari pernyataan Wapres Jusuf Kalla bahwa pengumuman kenaikan harga BBM bersubsidi akan langsung disampaikan oleh Presiden Jokowi. Bagi pemerintahan baru ini, menaikkan harga BBM adalah kenyataan pahit yang harus diambil berdasarkan argumen selama ini subsidi BBM yang hingga ratusan triliun bisa mengguncang APBN. Mengingat sepanjang 2014 total subsidi energi diprediksi mencetak rekor hingga lebih dari Rp 350 triliun. Jumlahnya mencapai sekitar 21 persen dari total anggaran pemerintah atau sekitar 3,4 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Keberadaan subsidi BBM yang terlampau tinggi dan hanya dinikmati sebagian besar kalangan kelas menengah ke atas membuat pemerintah memiliki alasan rasional untuk mengurangi subsidi BBM. Namun, rasionalisasi alasan itu harus berbenturan dengan kenyataan pahit yang harus ditanggung rakyat, terutama wong cilik, yang selama ini menjadi konstituen terbesar Jokowi.
Rakyat terutama kalangan menengah ke bawah adalah pihak yang akan terdampak paling kuat jika harga BBM naik. Mengingat, efek domino berupa kenaikan barang kebutuhan pokok karena meningkatnya inflasi. Di sisi lain, pendapatan rakyat tidak meningkat atau hanya sedikit kenaikannya, padahal mereka harus mengeluarkan uang untuk konsumsi makanan, transportasi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Jadi, walaupun pemerintahan Jokowi-JK telah menyiapkan cadangan sekitar Rp 10 triliun (Rp 5 triliun dana bantuan sosial dari APBNP 2014 dan Rp 5 triliun dari APBN 2015) yang dapat dibagi kepada penduduk miskin untuk mengurangi dampak langsung kenaikan harga BBM. Pada kenyataannya, pengurangan subsidi BBM itu secara langsung diperkirakan akan lebih memukul daya tahan rakyat kecil. Sebab, setiap kenaikan harga BBM sebesar Rp 3.000 per liter akan menambah tingkat inflasi 3,2 persen.
Kenyataan pahit itu semakin urgen untuk dilakukan ketika Jokowi harus mengakomodiasi kalangan investor. Kita tahu sejak awal pemerintahan Jokowi-JK amat berambisi mengajak para investor menanamkan modalnya di Indonesia, seperti di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC di Beijing, Cina. Pada saat itu, Jokowi menawarkan sejumlah peluang investasi kepada para CEO dunia dengan meyakinkan akan tingginya potensi Indonesia.
Keinginan untuk menarik sebanyak-banyaknya investasi itu harus dibarengi kebijakan ekonomi yang sejalan dengan kepercayaan investor. Kondisi selama ini terlihat bahwa investor cemas dengan berlarutnya defisit transaksi berjalan dan fiskal di Indonesia. Para investor pasti memahami, selama ini transaksi berjalan dan fiskal pemerintah telah mengalami defisit, setidaknya sejak akhir pemerintahan SBY. Dan, bagi para investor itu, solusi yang harus diambil untuk mengurangi dual deficits ini, di samping peningkatan ekspor, adalah pengurangan subsidi BBM. Kebijakan menaikkan harga BBM itu penting di mata investor untuk menunjukkan ketegasan pemerintah dalam mengambil keputusan yang tidak populer.
Di sinilah kenyataan pahit yang harus diambil Jokowi, sebagai pemerintahan yang didukung sebagian besar kalangan wong cilik dan didorong oleh kalangan rakyat "ekstrapartai. Di sisi lain harus mengeluarkan kebijakan yang tidak populis demi mengurangi membengkaknya pengeluaran subsidi BBM dan meningkatkan kepercayaan kalangan investor. Dengan kondisi begitu, bisa diperkirakan masa awal pemerintahan Jokowi-JK akan dihadapkan pada posisi dilematis karena berada di antara dua potensi, yaitu kemarahan rakyat pendukung Jokowi akibat efek domino kenaikan harga BBM atau absennya kepercayaan dari kaum investor atas kebijakan ekonomi karena keengganan mereformasi politik subsidi.
Kenaikan BBM ; Persepsi Dampak Positif, Negatif, dan Upaya Solutif.
Dalam upaya membangun masyarakat yang cerdas dan
berpemikiran maju, setiap persoalan seharusnya disikapi dengan bijaksana dan
penuh perhitungan, dengan landasan Konstitusi dan nilai-nilai lokal. Untuk itu
masyarakat dipandang perlu untuk membandingkan hal positif dan negatif, serta
upaya solutif.
Persepsi Positif dan kemungkinan terbesar
pencapaian positif kenaikan BBM antara lain: Pertama, Sudah menjadi tradisi
pemerintah bahwa alasan yang paling kuat dalam kenaikan harga BBM secara
nasional adalah Beban Subsidi Pemerintah. Sehingga untuk menyelamatkan Subsidi
BBM yang dipandang banyak salah sasaran dan dialokasikan pada pembangunan yang
lain maka kenaikan harga BBM adalah salah satu solusi.
Kedua, Indonesia sebagai negara yang berpenduduk terbanyak ke-3 di dunia
menjadi sasaran pemasaran yang tepat dan sehingga Pertamina dapat meraih
keuntungan yang maksimal dalam upaya pembangunan Pertamina dan negara. Ketiga,
Posisi harga minyak dunia saat ini berada pada level rendah yang dalam
pandangan ekonomi merupakan waktu yang paling tepat untuk mengambil langkah buy/bid/beli
dengan asumsi kebutuhan BBM secara global akan tetap tinggi sehingga pada
dasarnya harga akan tetap naik, dengan demikian negara akan sangat diuntungkan,
hal ini didukung karena pemimpin Indonesia saat ini berlatar belakang
pengusaha.Keempat, istilah “Naik sedikit tetapi bertahap lebih baik daripada naik sekaligus”. Setidaknya pemerintah telah mengantisipasi terhadap tingginya kebutuhan BBM di Indonesia sehingga dengan kenaikan harga BBM akan muncul upaya untuk mencari sumber energi yang lain. Dan yang terakhir, Membangun kesadaran masyarakat untuk menghemat penggunaan BBM.
Adapun persepsi Negatif dan kemungkinan terburuk dampak kenaikan BBM yakni : Pertama, Kenaikan BBM yang oleh Pemerintahan Jokowi – JK merupakan upaya untuk balas budi, dan mengembalikan modal yang dikeluarkan pada Pilpres lalu, hal ini didukung oleh karena aset dan usaha terbesar keluarga Megawati bergerak di bidang SPBU.
Kedua, Ada upaya untuk menggeser posisi Pertamina sebagai pemasok BBM terbesar di Indonesia sehingga SPBU yang lain menjadi perhatian masyarakat. Ketiga, Kenaikan BBM dipandang sebagai salah satu langkah kebijakan “Teori Evolution/Evolusi” mudah dibedakan antara masyarakat yang mampu bertahan dan tidak mampu bertahan secara ekonomi, hal ini dipadanga sangat berpihak pada para kapitalis.
Perspektif negatif yang keempat, Kebijakan kenaikan BBM oleh indonesia adalah hal yang ironi, dimana indonesia adalah salah satu negara penghasil atau memiliki sumber daya alam BBM yang melimpah namun tidak dapat dimanfaatkan untuk rakyat, hal ini akan sangat bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 tentang Kesejahteraan Sosial. Dan yang terakhir, Opini umum publik seperti meningkatnya biaya produksi, opersiasional, transportasi dan konsumsi yang sejalan dengan peningkatan inflasi.
Persepsi dan Upaya Solutif terhadap Sumber Daya
Mineral, Energi yang sangat erat kaitannya dengan Subsidi BBM ialah, pertama, Indonesia
seharusnya lebih mandiri dalam mengelola kekayaan negara sehingga mengurangi
“kebocoran”, dan mengedepankan konstitusi untuk menunjang kesejahteraan Rakyat
Indonesia, bukan dengan membuat aturan untuk menggugurkannya dan/atau mencari
celah untuk mendapatkan keuntungan pribadi/golongan.
Kedua, Dalam upaya agar Subsidi BBM tetap sasaran, dalam penyalurannya
seharusnya mendapat kontrol yang ketat dari pemerintah, sehingga tidak menjadi
permainan pasar bagi para penyalur. Pernahkah anda melihat penyalur BBM/SPBU
yang keuntungannya sedikit..???. ketiga, Subsidi BBM seharusnya tidak bersifat
nasional, tetapi mengikuti pola pemerintahan otonomi daerah, hal ini dalam
upaya pemerataan pembangunan Nasional. Dan terakhir, Dalam upaya mereduksi
konsumsi masyarakat terhadap BBM bersubsidi, SPBU pada kota-kota besar di
Indonesia tidak menjual BBM bersubsidi, hal ini akan mengurai kemacetan, dan
maksimalisasi Mass Transport.Dikutip dari tulisan Ade Wiharso dan Mukmin Mandatongan
Peneliti Median dan Kompasianer