Organisasi
pangan dunia (FAO) mengatakan sektor pangan dunia menghadapi tantangan yang
sulit seiring pertambahan penduduk. Tanpa upaya mewujudkan ketahanan pangan
dunia yang merata, jumlah penduduk kelaparan akan semakin bertambah. Banyak
kendala dalam mengatasi masalah pangan yakni profesi petani banyak
ditinggalkan, laju perluasan lahan non pangan yang tinggi yang mengakibatkan
terjadi pergerusan lahan/konversi lahan.
Ketahanan pangan merupakan masalah krusial diantara masalah dunia.
Jumlah penduduk dunia saat ini sekitar 7 miliar diproyeksikan bertambah jadi 9
miliar pada tahun 2050 itu artinya akan lebih banyak lagi orang yang harus
diberi makan. (Media Indonesia, 30 juli 2012).
Akhir-akhir
ini terutama menjelang lebaran tiba, kenaikan konsumsi berbagai komoditas pangan drastis meningkat
tajam, hal ini perlu kiranya mendapatkan perhatian ekstra dari semua pemangku
kebijakan (stakeholder).
Dalam
Undang-undang No 7 Tahun 1996 tentang
Pangan, pasal 1 ayat 1 dikatakan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan,
bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.
Sejarah seringkali mencatat bahwa masalah pangan
merupakan isu krusial bagi sebuah negara, ia dapat digunakan sebagai alat
politik-ekonomi untuk mencapai tujuan. Sebuah negara atau bangsa yang memiliki
ketahanan pangan kuat adalah negara yang memiliki kemampuan untuk mencukupi
kebutuhan pangan rakyatnya, dengan harga terjangkau, mudah diperoleh dan dengan
kualitas baik. Terlepas darimana pangan itu diperoleh, apakah sepenuhnya hasil
produksi dalam negeri atau sebagian besar diantaranya diimpor dari negara lain.
Singapura adalah contoh sebuah negara yang memiliki ketahanan pangan kuat
meskipun tidak memproduksi sendiri pangan yang dibutuhkan
Indonesia juga relatif memiliki ketahanan
pangan yang kuat meskipun masih mengimpor sebagian kebutuhan pangannya dari
negara lain. Buktinya Indonesia berani mengancam menghentikan impor daging sapi
dari Australia dan juga tidak khawatir jika pasokan impor beras dari Vietnam
atau Thailand dihentikan. Sebagian besar daging sapi yang dibutuhkan Indonesia
adalah produk impor, sementara beras secara relatif merupakan sebagian kecil
yang diimpor meskipun secara absolut jumlahnya cukup besar karena mencapai angka
jutaan ton per tahun. Untuk kedua produk pangan hewani dan nabati tersebut,
Indonesia tergolong memiliki ketahanan pangan yang kuat, setidaknya untuk
beberapa tahun ke depan dengan asumsi tidak ada perubahan di pasar pangan
secara radikal.
Secara teori dan konsep, ketahanan pangan
yang kuat tidak sama dengan kedaulatan pangan yang kuat. Sebagian besar negara
di dunia menganut konsep ketahanan pangan sebagaimana konsep ini dianut dan
menjadi acuan lembaga internasional termasuk PBB dan FAO. Faktanya tidak ada
negara yang bisa memenuhi semua kebutuhan pangan dari dalam negeri atau
memproduksinya sendiri, kemudian selebihnya akan diekspor ke negara yang
membutuhkannya. Yang ada adalah sebuah negara yang mengekspor jenis pangan
tertentu, baik nabati atau hewani ke negara lain sekaligus juga mengimpor
kebutuhan sebagian kebutuhan pangannya dari negara lain. Negara tempat
mengekspor atau mengimpor itu bisa sama seperti layaknya sebuah barter, tetapi
kebanyakan berbeda.
Dalam
RUU Pangan yang belum lama ini dibahas, dijelaskan bahwa yang dinamakan Kedaulatan
Pangan adalah hak negara dan bangsa dalam mewujudkan ketahanan Pangannya, dapat
menentukan kebijakan pangannya secara mandiri,
menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya, dan memberi hak bagi masyarakat
untuk menentukan sistem usaha Pangannya sesuai dengan potensi sumber daya dalam
negeri. Sedangkan arti dari kemandirian pangan yakni kemampuan negara
memproduksi Pangan dalam negeri untuk mewujudkan ketahanan Pangan dengan
memanfaatkan sebesar-besarnya potensi sumber daya alam, manusia, sosial,
ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
Adapun pengertian dari ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai
dengan individu, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta sesuai
dengan keyakinan, dan budaya, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan.
Hampir semua negara memiliki pola pemenuhan
kebutuhan pangan berbeda yang saling tergantung dan membutuhkan karena pasokan
atau produksi pangan yang ada memang dirancang dan dikondisikan terbatas atau
seperlunya saja hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Jika ada
kelebihan pasokan atau produksi, akan mengacaukan harga pangan dunia, hal ini sebagaimana
dialami oleh petani Indonesia ketika panen raya terjadi gejolak harga berupa
turunnya harga pangan. Begitu juga sebaliknya ketika terjadi kelangkaan atau
kekurangan pasokan harga pangan bisa melambung tinggi dan sangat tidak rasional.
Semua itu terjadi karena manajemen pengelolaan produksi pangan dan
distribusinya yang tidak baik dan belum mampu dirancang atau dikondisikan pas
dengan kebutuhan konsumen, sehingga harganya relatif bisa dikendalikan dan
berada di kisaran yang wajar dan rasional.
Pasang
Surut Ketahanan Pangan Indonesia
Di awal kemerdekaan, Indonesia pernah
mengalami masa sulit akibat pasokan dan distribusi pangan yang tidak lancar.
Untungnya Indonesia dikarunia tanah yang relatif subur dan air yang begitu luas
sehingga banyak jenis tanaman dan hewan yang bisa dimakan untuk sekedar
bertahan hidup. Hingga akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal masa
pemerintahan Soeharto, Indonesia masih disibukkan persoalan bagaimana mencukupi
kebutuhan pangan dalam jumlah cukup, harga terjangkau, mudah mengaksesnya dan
kualitas yang baik. Untuk menjaga stabilitas pasokan harga dan kualitas pangan
yang dibutuhkan masyarakat Indonesia yang terus bertumbuh, maka pemerintahan
Soeharto meluncurkan serangkaian kebijakan antara lain dengan membentuk Bulog
dan memperkuat sistem dan kelembagaan departemen yang terkait dengan pertanian
dan pangan. Anggaran yang dikeluarkan relatif besar dibandingkan sektor lain
yang dipandang kurang strategis dan mendesak.
Sejak
1984, indonesia belum pernah mencapai swasembada beras meskipun cenderung impor
berasnya semakin turun. Sejak 2007 sampai 2008, indonesia terpaksa mengimpor
produk pangan, terutama beras, dalam jumlah besar sehingga banyka kalangan
khawatir akan terjadinya krisis panganyang lebig dalam. Prestasi swasembada beras tahun 1984 sering
disebut sebagai keberhasilan monumental bagi indonesia karena beras adalah
makanan pokok ratusan juta penduduk indonesia, sedangkan tingkat konsumsi
pangan lainn masih sedikit. Idealnya harus terjadi diversifikasi pangan
sehingga bukan hanya beras yang menjadi
makanan pokok.
Terlepas
dari itu, berbagai penelitian mutakhir menunjukkan bahwa beras merupakan
komoditas yang menduduki posisi strategis dalam proses pembangunan pertanian ,
karena beras telah menjadi komoditas politik dan menguasai hajat hidup rakyat
indonesia. Masyarakat telah mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok sehingga
beras menjelma menjadi sektor ekonomi strategis bagi perekonomian dan ketahanan
pangan nasional.
Ada
yang meramalkan Indonesia diprediksi akan mengalami krisis pangan pada tahun
2017 dengan mengacu dari sejulah kasus, seperti kelangkaan kedelai pada awal
2008 atau impor beras, gula, dan komoditas pangan lain (daging sapi).
Faktanya
hngga kini Indonesia masih mengimpor pangan untuk menjaga ketahanan pangan pada
tingkat yang dianggap aman. Dalam konteks itu, tidaklah aneh jika sejumlah
kalangan termasuk anggota DPR RI mengingatkan pemerintah agar selalu mewaspadai
potensi krisis pangan nasional. Memang wajar ketika ketersediaan pangan semakin
tipis atau masyarakat tidak mampu menjangkau harga pangan yang terus naik,
stakeholders pangan menekan pemerintah agar mengatasi persoalan itu. Salah satu
cara klasik yang ditempuh pemerintah adalah dengan mendorong petani menggenjot
produksi pangan baik dengan pola intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian.
Dilema
produksi dan diversifikasi pangan
Hingga
tahun 2012 masalah ketanahan pangan khususnya beras menjadi persoalan besar
bangsa Indonesia. Angka kuota impor beras rata-rata masih diatas angka jutaan
ton. Pada tahun 2011, impornya 1,6 juta ton dan diperkirakan pada tahun
2012 tidak akan jauh bergeser. Besarnya
angka impor dimaksudkan untuk menjaga ketahanan pangan agar pasokan dan harga
pangan tetapterjangkau dan stabil. Sebagai negara yang berpenduduk bear dengan
konsumsi beras yang juga besar, besar kecilnya impor beras yang dilakukan
Indonesia seara langsung memiliki pengaruh signifikan pada harga beras dunia.
Dengan membeli 1,5 juta ton sampai 2 juta ton beras dari 8 juta ton beras yang ada di pasaran dunia,
angka itu sangat mungkin akan memicu kenaikan harga beras dunia.
Keadaaannya
akan beda jika tingkat konsumsi beras indonesia diturunkan dengan cara
diversifikasi konsumsi pangan. Pola konsumsi yang dominan beras menjadikan
kebutuhan beras menjadikan kebutuahan beas begitu besar, terutama bagi
masyarakat menengah ke bawah. Berbagai sumber menunjukkan bahwa pola konsumsi
beras masyarakat Indonesia mencapai dua kali lipat dibandingkan konsumsi beras
masyarakat negara-negara tetangga, bahkan tertinggi di dunia. Konsumsi beras
indonesia saat ini adalah 139 kg perkapita/tahun. Padahal konsumsi beras
Thailand dan malaysia hanya berkisar 65-70 kg per kapita/tahun.
Jika
pola konsumsi beras masyarakat bisa ditekan dan diganti dengan jenis pangan
yang lain (jagung, umbi-umnbian atau gandum), persoalan ketahanan pangan
Indonesia akan lebih kuat karena sejumlah pangan Indonesia akan bekembang di
Indonesia. Jagung, atau umbi-umbian (ubi jalar, singkong, uwi, suweg, gembili,
talas dan ganyong) sejak lama telah menjadi makanan alternatif bagi penduduk
Indonensia. Untuk itu, diversifikasi pangan adalah bagian dari upaya memperkuat
ketahanan pangan meskipun tidak langsung. Dengan kata lain, semua jenis pangan
baik yang berasal dari tanaman, ternak, maupun ikan, menjadi hal yang penting
dalam sistem ketahanan pangan. Ketergantungan masyarakat pada jenis pangan
tertentu perlu ditekan dengan menawarkan jenis pangan alternatif. Edukasi
publik yang intensif diperlukan agar masyarakat mau beralih dari beras.
Memang
produksi pangan kini semakin mengkhawatirkan , sejumlah ahli memperkirakan
untuk periode 2000-2015 laju peningkatan produksi pangan akan turun menjadi
rata-rata 1,6 % per tahun. Namun angka itu masih lebih tinggi jika dibandingkan
laju pertumbuhan penduduk dunia yang diprediksi 1,2 5 per tahun. Untuk periode
2015-2030, laju pertumbuhan produksi pangan diprediksikan akan lebih rendah
lagi yakni 1,3 % per tahun dan itu masih lebih tinggi daripada pertumbuhan
penduduk dunia sebesar 0,8% per tahun. FAO pun memprediksi, bahwa produksi
biji-bijian dunia akan meningkat sebesar 1 miliar ton selama 30 tahun ke depan
dari 1,84 miliar ton tahun 2000 menjadi 2,84 miliar ton tahun 2030
Pangan Milik Kita
Bersama
Dalam beberapa dasarwarsa terakhir, dimensi
politik dan ekonomi pangan terasa semakin krusial dan mengkhawatirkan. Fakta
bahwa semakin sulit negara mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya sekalipun
secara agregat produksi pangan dunia masih mencukupi. Rendahnya daya beli
seiring dengan meningkatnya harga pangan menjadi persoalan yang mengancan
ketahanan pangan sebuah negara dan kelompok masyarakat tertentu. Di sejumlah
tempat, isu pangan menjadi sesuatu yang sangat sensitif dan sering dijadikan
komoditas politik untuk mencapai tujuan politik. Dari perspektif ekonomi juga
demikian, misalnya ketika terjadi kelangkaan pasokan, banyak pihak yang
dirugikan, tetapi tidak sedikit yang menangguk keuntungan besar. Sejumlah
sektor industri dan jasa yang terkait dengan pangan juga terpengaruh sehingga
mengganggu stabilitas ekonomi sebagai tercermin dari tingkat inflasi yang
disumbangkan sektor pangan jika ada masalah seperti kenaikan harga akibat
kelangkaan pasokan atau sebab lain.
Tidak diragukan lagi bahwa pangan adalah
komoditas politik dan ekonomi yang sangat strategis. Keberadaannya sangat
menentukan kepentingan dan hajat hidup orang banyak sehingga tidak ada pilihan
lain kecuali negara harus campur tangan terhadapnya. Negara atau pemerintah
harus dapat memastikan bahwa barang strategis itu bukan hanya tersedia
pasokannya dalam jumlah cukup, terjangkau dan berkualitas, tetapi harus bisa
berujung pada kesejahteraan rakyat sebagaimana yang diamanatkan konstitusi.
Indonesia memiliki potensi untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya jika
kekayaan alam berupa tanah dan air yang ada dapat dikelola secara efektif dan
efisien dengan senantiasa menjaga kelestariannya.
Dengan semua potensi itu idealnya bangsa
Indonesia bukan hanya mampu mencapai kedaulatan pangan yang sangat kuat tetapi
memiliki kedaulatan dan kemandirian pangan dalam arti mampu memenuhi sendiri
semua produksi dan mangatur distribusinya secara mandiri dan otonom. Ketahanan
pangan atau apapun konsep yang sejenis dengan itu, tidak terkecuali kedaulatan
dan kemandirian pangan adalah alat untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan itu
sendiri. Tujuannya adalah mencapai sebesar besarnya kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Jika melalui ketahanan pangan yang kuat tujuan itu bisa
dicapai maka tidak ada salahnya jika konsep tersebut yang menjadi acuan bangsa ini
dalam mengelola pangan. Adalah fakta bahwa bangsa Indonesia yang kaya potensi
alam masih mengimpor pangan dari negara lain, maka hal demikian bukanlah aib
atau kegagalan dalam mengelola produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan
rakyatnya. Sejauh ini fakta menunjukkan bahwa kebutuhan tersebut secara umum
masih bisa dipenuhi dengan jumlah yang cukup, harga terjangkau dan mutu yang
tergolong baik.
Ya,
tanah Indonesia relatif subur, demikian juga air Indonesia yang begitu luas dan
kaya kandungan energi serta potensial dikelola menjadi sumber pangan, seperti
rumput laut, ikan dan sebagainya. Idealnya Indonesia mampu memproduksi sejumlah
jenis pangan utama dalam jumlah yang lebih dari cukup, dimana surplusnya bisa
diekspor yang secara tidak langsung memperkuat posisi tawar Indonesia terhadap
bangsa lain. Semua itu kata kuncinya terletak pada bagaimana mengelola dan
mengotimalkan potensi tersebut. Dalam mengelola dan mengoptimalkan potensi
tersebut mutlak adanya kerjasama yang sinergis diantara stakehoders dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan begitu bukan
hanya kemandirian pangan yang bisa diwujudkan tetapi kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat yang menjadi tujuannya.
3 komentar:
buku selain aku cinta damai, apaan ban?
Nice info untuk pangan. silakan kunjungi web kami Ahli Sumur
Info yang bermanfaat. Semoga pangan kita meningkat. Delta Rafting
Posting Komentar